PALITONEWS – Pemerintah menerbitkan Inpres No 6 Tahun 2025 tentang Pengadaan dan Pengelolaan Gabah/Beras Dalam Negeri serta Penyaluran Cadangan Beras Pemerintah (CBP).
Instruksi Presiden ini mematok target penyerapan beras lokal oleh Perum Bulog hanya sebesar 3 juta ton untuk tahun 2025. Angka ini menimbulkan kekhawatiran serius dari kalangan legislatif karena dinilai bisa menghancurkan harapan petani untuk menikmati hasil panen yang layak.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), estimasi produksi beras nasional tahun 2025 akan menembus angka 30 juta ton. Artinya, kuota yang dialokasikan pemerintah hanya menyentuh 10 persen dari total produksi.
Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Alex Indra Lukman, menyatakan hal ini bisa memicu kegaduhan di tingkat petani jika tak ada mekanisme yang jelas dan transparan dalam penyalurannya.
“Kalau hanya 10 persen yang diserap Bulog, sementara sisanya dilempar ke pasar bebas tanpa pengaturan teknis yang matang, petani pasti dirugikan. Harga akan jatuh,” ujar Alex dalam keterangan tertulis, Rabu (30/4/2025).
Sebelumnya, Alex sudah memberikan peringatan pasca-terbitnya Keputusan Kepala Bapanas No 14 Tahun 2025 pada Januari lalu. Aturan ini menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk Gabah Kering Panen (GKP) sebesar Rp6.500 per kilogram di tingkat petani.
Namun menurut Alex, regulasi ini tidak cukup. Ia menilai para pembantu presiden tidak menerjemahkan Program Asta Cita tentang swasembada pangan secara utuh. “Akhirnya malah menciptakan jebakan baru bagi petani dan pemerintah sendiri,” kata anggota DPR RI dari Dapil I Sumatera Barat itu.
Ia juga mengingatkan bahwa pembatasan kuota penyerapan akan membuat para tengkulak kembali menguasai pasar karena mereka dapat membeli gabah di bawah harga acuan. “Jika tidak segera dibuat teknis penyaluran dan penetapan kuota per provinsi, kekacauan harga gabah di lapangan akan semakin parah,” tegasnya.
Berdasarkan estimasi BPS, pada masa puncak panen raya kuartal I tahun 2025, produksi GKP mencapai 5,57 juta ton di bulan Maret, kemudian turun menjadi 4,95 juta ton di April dan 2,92 juta ton pada Mei. Artinya, sepanjang kuartal I saja, produksi gabah sudah melebihi kuota pembelian pemerintah.
“Kalau sekarang saja belum ada kejelasan, bagaimana dengan panen di kuartal II dan III nanti?” tanya Alex. Ia menekankan pentingnya ketegasan pemerintah dalam membuat kebijakan teknis, mulai dari kuota daerah hingga petani yang berhak menjual gabahnya ke Bulog.
Kondisi ini dikhawatirkan akan memperdalam krisis kepercayaan petani terhadap pemerintah, apalagi jika harga di tingkat lapangan kembali dimainkan tengkulak. Dengan harga pasar yang bisa anjlok karena oversupply, para petani akan kembali dalam posisi rentan secara ekonomi.
Gabah Kering Panen (GKP) adalah gabah yang baru dipanen dengan kadar air antara 18% hingga 25% dan kadar kotoran antara 6% hingga 10%. Petani biasanya memilih menjual GKP karena bisa langsung diuangkan tanpa menunggu proses pengeringan, berbeda dengan gabah kering giling (GKG).
Namun kini, skema pembatasan penyerapan GKP oleh pemerintah tanpa rincian teknis yang jelas justru menjadi sumber kegelisahan. “Kalau terlambat, petani lagi yang jadi korban. Tengkulak kembali menggeliat, dan harga gabah bisa jatuh di bawah HPP,” kata Alex.
Dengan kondisi iklim yang kian sulit diprediksi dan serapan pemerintah yang dibatasi, nasib petani Indonesia dipertaruhkan. Legislator meminta agar pemerintah segera menyusun peta jalan teknis pengadaan gabah, agar upaya menjaga stabilitas harga dan kesejahteraan petani benar-benar terwujud. (**)
Discussion about this post