“Berpikirlah seperti orang Minang, bekerjalah seperti orang Jawa, dan berbicaralah seperti orang Batak”. Ungkapan tersebut dititahkan oleh Soekarno untuk menggambarkan keunikan tiga entitas kebudayaan tersebut. Apakah ungkapan itu masih relevan? Menurut saya ungkapan itu harus kembali dikontekstualisasikan dengan kondisi sekarang.
Waktu kecil saya merasa ungkapan itu hanya sebuah kebanggaan karena diucapkan oleh pemimpin sebesar Soekarno. Saya belum paham seutuhnya. Setelah saya mengulik sejarah, saya menyadari bahwa banyaknya tokoh dari Minangkabau merupakan bukti nyata keleluasaan berpikir orang Minang. Keleluasaan berpikir, kebebasan berargumen, serta berbagai keunikan lainnya telah jamak diketahui orang dari masyarakat Minangkabau. Orang Minang adalah orang yang berpikir.
Sebagai sebuah entitas budaya, Minangkabau tidak hanya terkungkung pada ritual adat saja. Minangkabau merupakan sebuah pabrik yang memproduksi pikiran-pikiran besar. Pikiran besar tersebut lahir dari akumulasi bermacam keunikan yang dimiliki kebudayaan Minang.
Adagium “alam takambang jadi guru”, merupakan perwujudan kearifan masyarakat minangkabau dalam berpikir dan memperoleh ilmu. Kalimat ini memberikan keleluasaan kepada orang minang untuk mengeksplorasi alam sebagai guru kehidupan. Alam yang luas dan seakan tidak bertepi merupakan guru kehidupan yang tidak pernah kehabisan ilmu.
Berguru pada alam merupakan filosofi mendasar agar orang Minang mampu memahami gejala dan segala dinamika yang ada. Orang minang diajarkan untuk siaga dengan segala macam peruahan yang akan terjadi. Kewaspadaan orang Minang tergambar dalam filosofi, “maminteh sabalun anyuik, malantai sabalun lapuak”. Artinya, bersiap diri terhadap segala yang akan datang dan sudah melakukan tindakan-tindakan preventif untuk pencegahan.
Berpikir merupakan substansi peradaban Minang. Kemampuan berpikir diturunkan menjadi kemampuan berbicara. Perdebatan menjadi makanan sehari-hari. Menurut saya, kebiasaan berdebat dan berargumentasi orang minang itu terasah secara alamiah. Adu argumentasi adalah hal lumrah. Lihat saja obrolan-obrolan di lapau kopi. Pembahasan di lapau kopi dimulai dari hal ringan sampai hal-hal berat.
Lapau bagi orang minang adalah tempat pertukaran gagasan. Lapau merupakan tempat pengujian gagasan dan arena pertarungan argumen. Di lapau segala macam respon akan didapatkan, mulai dari penghargaan terhadap sebuah argumen ataupun mungkin penolakan dalam bentuk cimeeh. Kebudayaan seperti ini menjadikan orang minang terasah dalam memahami dinamika apapun.
Pola komunikasi orang minang dalam berargumentasi seringkali menggunakan kiasan (kieh). Penggunaan kata kiasan merupakan salah satu bentuk kehati-hatian dalam berbicara untuk menghindari konflik. Ada dua hal yang harus dipahami dalam karakter bicara orang Minang, yaitu pemahaman terhadap kieh dan kato yang ada dalam ungkapan, “tau kieh kato sampai”.
Pemahaman terhadap kieh merupakan tuntutan untuk memahami sesuatu yang tersirat. Ketersiratan makna merupakan upaya pencarian pemahaman. Ketika salah dalam memahami makna, maka akan terjadi kesalahan dalam mengungkapkan pokok pikiran. Kesalahan dalam memahami pokok pikiran dalam berkomunikasi akan berujung pada kesalahan dalam berargumen.
Kebiasaan berargumen dan kebebasan berbicara dalam budaya minangkabau melahirkan egalitarian masyarakat minangkabau. Tidak heran dalam lintasan sejarah minangkabau seringkali muncul perdebatan-perdebatan antar tokoh. Perdebatan itu merupakan buah dari pemikiran yang mendalam yang dibiasakan di Minang.
Catatan sejarah perdebatan orang Minang salah satunya terdapat pada perbedaan pandangan antara kaum tuo dan kaum mudo dalam persoalan keagamaan. Perbedaan yang terjadi merupakan pengayaan terhadap khazanah intelektual Minangkabau yang berefek pada banyak hal, terutama pendidikan agama. Muncullah pola pendidikan modern yang memengaruhi daerah lain di Indonesia.
Orang minang juga terkenal dengan lompatan-lompatan pemikirannya. Tan Malaka telah lebih dulu melahirkan pemikiran besar tentang berdirinya negara Indonesia kemerdekaan Indonesia. Begitu juga dengan Bung Hatta yang merumuskan pandangan ekonomi melalui koperasi di tengah kerasnya tarikan kepentingan antara ideologi kapitalis dan komunis. Lompatan-lompatan pemikiran ini disebabkan oleh adanya ruang terbuka di Minangkabau untuk terus melakukan pendalaman dan pertarungan pemikiran sehingga argumetasi yang dilahirkan terkadang melapaui zamannya.
Orang minangkabau memiliki kemampuan adaptif. Gejolak dan perubahan merupakan hal yang lumrah terjadi dan pembelajaran alam akan terus memberikan solusi. Argumentasi dan pikiran-pikiran hebat akan selalu muncul pada masyarakat Minang selama tidak terjebak pada obrolan masa lalu. (**)
Discussion about this post