PEMILU serentak 2024 sudah diambang pintu. Tanggal 14 Februari mendatang, rakyat Indonesia bakal memilig pemilih pemimpin dari level DPRD kabupaten/kota hingga DPR RI dan Presiden-Wakil Presiden lima tahun mendatang.
Pesta demokrasi yang seharusnya sebagai implementasi sarana perwujudan kedaulatan rakyat untuk membentuk pemerintahan perwakilan menjadi bumerang tersendiri dalam pelaksanaannya. Berbagai masalah dihadadi dalam rangka menjaga Pemilu tetap demokratis dan bersih.
Terdapat beberapa masalah yang dihadapi di antaranya; politik identitas, misinformasi hingga hate speech. Tantangan ini tidak hanya terjadi di dunia nyata, tetapi juga terjadi di platform-platform digital yang digunakan di masyarakat.
Politik identitas merupakan hal yang sangat riskan terjadi. Sebab, Indonesia merupakan negara majemuk yang terdiri dari berbagai suku, bangsa, ras, dan agama.
Konsekuensi dari adanya masyarakat multikultural adalah lahir sikap untuk mempertahankan keutuhan kelompok yang memicu permusuhan. Nilai-nilai yang berkaitan dengan sistem keyakinan yang menimbulkan sikap primordialisme.
Hal ini tidak dapat terelakkan di keadaan sosial masyarakat Indonesia. Di sisi lain, politik identitas hanya akan membuat perpecahan karena rentan terjadi konflik mengeani isu SARA. Masyarakat hanya akan mengkotak-kotakkan tanpa melihat apa yang telah diberikan seseorang pada bangsa dan negara.
Dalam upaya menekan praktik politik identitas, Bawaslu menyiapkan beberapa strategi di antaranya pendekatan kelompok masyarakat. Kemudian, menyiapkan buku ceramah enam agama yang berhubungan pemilu dan menolak politisasi SARA, intelligence media management,dan indeks kerawanan pemilu (IKP).
Di lain hal, misinformasi di dunia digital saat sekarang ini sangat masif dan mudah diterima masyarakat. Informasi-informasi yang tidak jelas sumber dan kebenarannya dibuat oleh orang yang tidak bertanggung jawab dan disebar dengan gamblang di media sosial dan tidak sedikit orang yang percaya dan menelan mentah-mentah.
Setidaknya, 30 persen sampai hampir 60 persen orang Indonesia terpapar hoaks saat mengakses dan berkomunikasi melalui dunia maya. Sementara hanya 21 persen sampai 36 persen saja yang mampu mengenali hoaks Demikian temuan survei Katadata Insight Center (KIC) yang bekerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika serta SiBerkreasi.
Dapat dilihat bahwa mayoritas orang yang terpapar hoaks berpotensi untuk menyebarkan kembali berita yang tidak benar tersebut. Tentu saja hal ini dapat merusak dan menciderai demokrasi pada ajang pesta demokrasi terbesar di Indonesia.
Bermacam solusi dapat dilakukan untuk mengatasi tantangan ini. Pertama, ketegasan pemerintah dalam regulasi-regulasi yang dibuat dan termuat dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016.
Mengacu pada Pasal 28 Ayat 1 dan Pasal 45A Ayat 1, setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik dapat dipidana.Kemudian Ancaman pidana bagi pelaku penyebaran hoaks juga tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal 390 KUHP berbunyi, “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan menyiarkan kabar bohong yang menyebabkan harga barang-barang dagangan, dana-dana atau surat-surat berharga menjadi turun atau naik diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan”.
Dengan powernya, seharusnya pemerintah dapat mengendalikan infrastruktur digitalnya dengan memperkuat regulasi dan perannya tanpa melanggar prinsip kebebasan berpendapat.
Kedua adalah literasi digital. Saat ini, literasi digital menjadi kunci untuk mitigasi problematika dalam berpolitik dan pelaksanaan pemilihan umum. Literasi digital memungkinkan masyarakat untuk mengakses, mengevaluasi, dan memanfaatkan informasi dengan bijak. Dengan keterampilan ini, mereka dapat memilah informasi yang akurat, valid, dan bermanfaat dari berbagai sumber, serta menghindari penyebaran informasi palsu.
Literasi digital juga mencakup kesadaran tentang etika dan keamanan digital. Masyarakat akan diajarkan bagaimana berperilaku dengan hormat dan bertanggung jawab dalam ruang digital.
Hate speech juga merupakan problematika yang dihadapi pada saat pemilu. Dalam proses kampanye pemilu, setiap peserta menggunakan hak kebebasan berpendapat dalam berorasi. Hal tersebut dilakukan untuk meyakinkan masyarakat agar memilih peserta pemilu tersebut.
Selain itu, kebebasan berpendapat dalam berorasi juga dapat digunakan untuk menjatuhkan lawan calon peserta pemilu yang lain. Di era globalisasi dan digital ini, hate speech semakin berkembang. Bentuk ujaran kebencian yang dilakukan tidak hanya yang mengatur khusus media sosial seperti Facebook, Twitter (X), Instagram, namun aplikasi pesan instan seperti BBM, Whatsapp, Line, Telegram, dan beberapa media sosial lain.
Pemerintah sudah melakukan upaya untuk meminimalisir pelaku hate speech ini, pelapor ujaran kebencian biasanya mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”). Hukum yang mengatur tercantum dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang menyebutkan melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Ketiga masalah ini dapat mengakibatkan perselisihan antara sesama warga negara yang terpancing dengan isu politik yang disuguhkan dengan tidak jelas kebenarannya dan bahkan dapat menyebabkan disintegrasi bangsa.
Dalam historisnya, kasus kekerasan yang pernah terjadi karena beda pilihan politik adalah pembunuhan. Kematian karena beda pandangan politik sudah pernah terjadi. Pada 2018, seseorang tega menghabisi nyawa temannya dengan pistol karena cekcok di media sosial mengenai beda dukungan calon presiden.
Indonesia dalam sejarahnya yang dibentuk dan diperjuangkan kemerdekaannya oleh berbagai suku, ras, dan agama dan sebagai bangsa yang beradab dan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan, sudah sepatutnya dapat keluar dari berbagai permasalahan politik yang berpotensi memecah integrasi bangsa.**
Catatan: Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Hukum Semester 5 di Universitas Andalas (Unand).
Discussion about this post